Aceh Selatan – Tapak kaki raksasa menghadap ke laut luas, terletak di antara batu karang dengan ukuran 6 x 2,5 meter yang dipenuhi air berwarna kuning keemasan, menjadi daya tarik wisatawan di Aceh Selatan. Lokasi tersebut merupakan Tapak Tuan Tapa, tokoh dalam cerita legenda Aceh Selatan.

Tidak mudah untuk mencapai lokasi Tapak Tuan Tapa, karena pengunjung harus melewati batu karang beragam ukuran dan mengikuti petunjuk garis putih dicat disetiap batu. Namun, perjuangan tersebut akan terbayar ketika tapak raksasa itu muncul di hadapan mata.

Legenda Tapak Tuan menjadi cerita rakyat turun temurun dan dipercaya masyarakat di sana. Meskipun tapak ini sudah tidak lagi alami, lokasi tersebut masih memikat hati pengunjung.

Percaya atau tidak, cerita legenda tapak Tuan Tapa menjadi cikal bakal nama ibu kota Aceh Selatan, yaitu Tapaktuan. Kota ini terletak sekitar 440 kilometer dari ibukota Provinsi Aceh.

Lokasi itu menjadi salah satu destinasi favorit wisatawan saat berada di Aceh Selatan. Biasanya, tempat itu ramai dikunjungi saat libur akhir pekan atau libur panjang.

Di sana, pengunjung rata-rata berswafoto dengan latar tapak kaki berukuran raksasa. Selain itu, ada juga wisatawan yang berpose di tebing sekitar semeter dari lokasi tapak.

Namun saat berkunjung ke sana pastikan dulu cuaca bersahabat. Karena ombak di sana bisa tiba-tiba tinggi sehingga membahayakan pengunjung. Wisatawan yang mendatangi lokasi tapak, juga ikuti anjuran atau saran pengelola tempat.

Para pengunjung ke lokasi ini rata-rata penasaran dengan tapak kaki berukuran tidak lazim. Selain itu, wisatawan juga ingin berziarah ke makam Tuan Tapa.

Seorang warga Aceh Selatan Chaidir Karim, mengatakan, di sana dulu hidup seorang pertapa sakti bertubuh raksasa yang sangat taat kepada Allah bernama Syech Tuan Tapa. Suatu hari, ada dua naga dari negeri Cina menemukan seorang bayi terapung di tengah laut. Mereka kemudian menyelamatkan bayi itu dan merawatnya hingga tumbuh dewasa.

Beberapa tahun berselang, kedua orangtua bayi yang menjadi raja dan permaisuri di Kerajaan Asralanoka mengetahui keberadaan putri mereka. Raja meminta kembali buah hatinya pada kedua naga. Permintaan itu ditolak. Tanpa pikir panjang, raja membawa lari putrinya naik ke dalam kapal.

“Kedua naga marah dan mengejar raja hingga terjadi pertempuran di tengah laut. Hal itu menyebabkan persemedi Tuan Tapa terusik,” kata Chaidir.

Tuan Tapa keluar dari gunung tempat ia bertapa dan melangkah ke sebuah gunung. Saat berdiri di puncak gunung, Tuan Tapa hendak melontarkan tubuh ke arena pertempuran. “Jejak kaki saat dia berdiri itulah yang membekas di sini,” ungkapnya.

Tuan Tapa berhasil membunuh kedua naga dengan menggunakan tongkat. Saat itu, niat Tuan Tapa untuk menyelamatkan bayi yang telah menjadi seorang putri. Ternyata, maksud baik Tuan Tapa membuat kedua naga marah besar sehingga terjadi pertempuran.

Singkat cerita, pertarungan itu dimenangkan oleh Tuan Tapa. Sang putri pun kembali ke pelukan raja dan permaisuri. Tapi keduanya tidak kembali lagi ke kerajaan dan memilih menetap di Aceh.

“Keberadaan mereka di tanah Aceh diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Tapaktuan,” jelasnya.

Tak lama berselang setelah kejadian itu, Syech Tuan Tapa menghilang disebuah lokasi. Oleh masyarakat Tapaktuan, lokasi tersebut diyakini sebagai makam Tuan Tapa. Letaknya di depan Masjid Tuo di Kelurahan Padang, Kecamatan Tapaktuan.

Makam itu berukuran sangat panjang dibanding makam manusia biasa. Sampai sekarang makam ini terus dikunjungi peziarah dan wisatawan.

Selain tapak raksasa, tak jauh dari sana juga terdapat batu di tengah laut yang diyakini sebagai kopiah Tuan Tapa yang kini sudah menjadi batu. Kopiah itu terlepas saat pertarungan terjadi. Tongkat yang sudah menjadi batu pun ada di sana.

Tongkatnya terpancang di laut sekitar daerah Lhok Ketapang. Demikian pula dari Naga Jantan, sisik dan darahnya memerah di Desa Batu Merah, hatinya terlempar ke Batu Hitam. Sebuah gunung terbelah menjadi 99 gugusan pulau dalam pertarungan itu kini dikenal dengan Pulau Banyak yang terletak di Kabupaten Aceh Singkil.

Menurut cerita, ada juga karang berbentuk layar kapal di Pantai Batu Berlayar, Desa Damar Tutong, Kecamatan Samadua, Aceh Selatan, yang terletak sekitar 20 kilometer dari tapak kaki raksasa. Konon karang itu sisa kapal raja dan permaisuri Kerajaan Asralanoka yang hancur ketika pertempuran.

“Sekarang banyak wisatawan yang berkunjung ke sini,” kata Chairil.

Dani Randi

Cek Artikel yang lain di Google News