Sabang – Membahas Sabang, bukan hanya bercerita tentang keindahan bawah lautnya yang sudah terkenal hingga ke pelosok Negeri bahkan Dunia, Tugu Nol Kilometer Indonesia atau pelabuhan alamnya yang menjadi primadona bagi kapal-kapal luar Negeri yang ingin masuk ke Aceh.

Namun, disamping lokasi tersebut, ternyata Sabang menyimpan ‘sejuta’ lokasi sejarah penting yang patut dikunjungi. Salah satunya yang berada di Pulau Rubiah yaitu tempat Karantina Haji pertama di Indonesia yang dibangun oleh Kolonial Belanda pada Tahun 1920.

Pulau Rubiah, sebenarnya hanya  pulau kecil yang terletak persis di depan pantai Iboih. Tempat biasanya para wisatawan menikmati panorama bawah lautnya. Tapi hanya segelintir orang yang tahu kalau dalam pulau kecil itu masih tersimpan sebuah sejarah yang kaya luar biasa.

Ketika Aceh masih merupakan daerah kesultanan, semua umat muslim di Aceh maupun dari Nusantara berangkat Haji wajib melalui pulau Weh, Sabang. Bahkan, sebagian harus singgah dahulu di pulau Rubiah.

Menariknya, pemerintahan Belanda yang menguasai Aceh kala itu, terpaksa membangun fasilitas karantina haji di pulau Weh karena alasan politis.

“Sebab, Pulau ini merupakan pulau terdepan jadi Belanda harus menjaganya dengan ekstra ketat. Ketika karantina haji belum ada dan pengurusan keberangkatan haji belum diatur oleh Belanda, masyarakat Aceh ramai yang pergi haji melalui para saudagar atau hulubalang pemilik kapal-kapal besar,” kata seorang pegawai Museum Sabang, Zulhelmi beberapa waktu lalu.

Dengan adanya karantina haji kala itu, kata dia, sekaligus menjadi pintu keluar masuk jamaah haji. Saat berkunjung ke lokasi ini, bangunan karantina haji tampak tak ada perawatan. Kondisi bangunannya memprihatinkan. Itu terlihat dari sisi dan dalam bangunan yang dipenuhi rerentuhan atap plafon bangunan. Kemudian jalan menuju bangunan yang dipenuhi ilalang setinggi pinggang orang dewasa.

Lokasi karantina haji pertama Indonesia di Pulau Rubiah, Sabang, kini kondisinya ditumbuhi ilalang. (Foto: dani randi)

Persis di depan bangunan ini juga terdapat sumur tua, diyakini sebagai bak penampungan air yang cukup besar yang sudah ada sejak Tahun 1900.

Namun, kondisi bak ini sama tragisnya dengan bangunan karantina haji, dipenuhi sampah pepohonan di dalamnya. Layaknya tak pernah di jamah oleh manusia.

Persis di pinggir jalan setapak memasuki bangunan ini terdapat tugu museum yang bertuliskan “Karantina Haji”. “Tempat itu (Karantina Haji) memang jarang dikunjungi, pengunjung kalau ke sini hanya pergi berenang,” kata Ahmad, seorang pedagang di Pulau Rubiah.

Nama Pulau Rubiah ini sebenarnya cukup terkenal dan mendunia lewat kekayaan wisata bawah lautnya (marine park), tentunya akan lebih memperkaya jika keberadaan karantina haji diangkat sebagai icon wisata sejarah di Pulau Rubiah.

Salah satu tiga alasan kenapa Aceh disebut Serambi Mekkah karena Pulau Rubiah yang berada di Propinsi Aceh sebagai karantina haji pertama di Nusantara.

Pendiri Sabang Heritage Society (SHS), Albina Ar Rahman mengatakan,  pemerintah kolonial Belanda mendirikan pusat karantina haji untuk kepentingan ekonomi dan politik. Gedung karantina haji dibangun untuk menarik simpati masyarakat Aceh.

Ia menuturkan, Belanda tidak mau ambil pusing, seluruh jamaah haji yang baru pulang diwajibkan karantina hingga ditetapkan statusnya terbebas dari wabah penyakit.

“Dulu belum ada vaksin seperti sekarang. Jadi orang yang pulang antar negara itu (dianggap) bawa pulang penyakit. Jadi harus dikarantina dan itu wajib,” kata Albina.

Karantina yang diterapkan selama 40 hari, jauh lebih lama dari proses karantina yang diterapkan selama wabah Corona yang telah menyerang hampir seluruh negara di dunia saat ini.

“Waktu pulang harus mampir di sini, jamaah perlu dikarantina selama 40 hari. Jadi siapa yang lolos, mereka tidak sakit, berarti sudah selesai. Maka dibolehkan pulang,” kata Albina.

Seiring berjalannya waktu, saat Jepang datang, Belanda terpaksa angkat kaki dari Sabang. Gedung karantina haji berubah menjadi barak tentara dan karantina haji di Aceh akhirnya terhenti.

Baru pada tahun 1944, Belanda kembali dan terjadi pertempuran dengan tentara Jepang sehingga beberapa bangunan pusat karantina haji hancur dihantam peluru Belanda.

“Jadi tidak semua bangunan itu hancur karena usia. Tapi dibom karena Belanda tahu Jepang bersembunyi dalam bangunan yang mereka dirikan,” ujarnya.

Sejak saat itu, pulau Rubiah tidak lagi menjadi pusat karantina haji. Namun kota Sabang masih menjadi jalur pemberangkatan jamaah haji ke tanah suci hingga tahun 70-an melalui kampung haji.

Untuk mengunjungi lokasi ini, cukup mudah, dari pusat Kota Sabang pengunjung harus terlebih dulu ke Pantai Iboih, memakan waktu sekitar 45 menit. Selanjutnya menyebrang dengan menggunakan Speed Boat.

Sesampainya di Pulau Rubiah, pengunjung harus berjalan kaki naik keatas bukit sekitar 100 meter untuk sampai di bekas tempat karantina Haji ini. jadi jika anda ke Sabang sempatkanlah mengunjungi tempat bersejarah ini. []

wisataaceh

Cek Artikel yang lain di Google News