WISATAACEH.ID – Bireun memiliki kesenian yang masih melekat di masyarakatnya. Yaitu, Rabbani Wahed. Seni tari sufi ini lebih mengajarkan tentang tauhid, agama serta kekompakan melalui gerakan yang energik.
Tari Rabbani Wahed dikembangkan pada tahun 1989 oleh T.M. Daud Gade. Nama Rabbani Wahed dalam tari ini adalah istilah berdasarkan syair yang dibacakan dalam tradisi Meugrob yang telah lama eksis di wilayah tersebut.
Dari sejarahnya, Rabbani Wahed diartikan sebagai Allah sang Rabbi yang satu dan menggambarkan identitas dari tari ini yang syair-syairnya berisikan puji-pujian kepada Allah dan Rasulullah, nasehat-nasehat dan cerita-cerita yang semuanya bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Syair yang dibacakan dalam tari Rabbani Wahed kebanyakan berasal dari Meugrob yang berasal dari Syeikh Muhammad Saman. Meugrob adalah gerakan melompat -lompat yang dilakukan oleh sekelompok remaja atau orang dewasa dengan saling bergandengan tangan sambil membaca membaca “Allahu” dan “La Illaha Illallah” secara berulang sampai mencapai situasi dan kondisi puncak tarian.
Kondisi puncak dalam “atmosfer keilahian” tersebut hanya bisa dirasakan oleh para pelakunya. Salah satu tanda mereka telah berhasil mencapai kondisi tersebut, biasanya pelakunya jatuh tak sadarkan diri dengan rasa puas secara spiritual yang tak terhingga. Mereka baru sadar dan bangun setelah terdengar takbir.
Meugrob pada awalnya merupakan salah satu dari ritual pelaksanaan ajaran tarekat Shamaniyah, yang mempunyai 3 (tiga) komponen utama, yaitu baiat, zikir, dan muraqabah.
Di dalam Meugrob peserta membaca kalimat zikirulllah secara berulang dengan penuh penghayatan. Dengan membaca secara berulang dan terus menerus mereka mengharapkan dapat masuk ke dalam kondisi di mana seseorang bisa sampai pada suatu ‘pengalaman spiritual yang tidak biasa’.
Dalam kaitannya dengan Tari Rabbani Wahed, unsur yang terdapat pada Meugrob antara lain berzikir sambil melompat, dan kemudian jatuh tak sadarkan diri dan diakhiri dengan takbir yang membangunkan penari, diadopsi menjadi bagian terpenting atau klimaks dari susunan tarian ini.
Gerakan
Rabbani Wahed dilakukan oleh 10 penari dan 2 Syeikh Radat semua pria. Tarian ini tidak diiringi permainan musik yang menggunakan alat, tapi cukup lantunan nyanyian oleh 2 orang Syekh Radat yang membawakan syair.
Para penari mengenakan busana tari yang terdiri atas celana, baju, kain songket di pinggang dan topi penutup kepala. Sedangkan Syekh Radat memakai pakaian serupa dengan penari, tetapi berbeda warna, yaitu warna kuning.
Tari Rabbani Wahed pada dasarnya selalu dibawakan dalam 2 posisi, yaitu duduk dan berdiri. Pada posisi duduk terdapat 7 komposisi gerak dan 3 komposisi gerak yang dilaksanakan dalam posisi berdiri.
Komposisi gerak pada posisi duduk yaitu; duduk bersimpuh berjejer atau rateb daek yang terdiri atas 3 gerakan salam. Kemudian dilanjutkan dengan gerakan bismillah, Hattahiyatun atau Afdhalul Insan, Sultan Maujuudun, gerakan Salattullah, gerakan Allah Rabbani hingga gerakan Din Awaidin.

Secara garis besar penari pada posisi duduk, menggali dan memanfaatkan kemungkinan dari gerakan tangan, torso, dan kelenturan kepala dilakukan secara seragam dan bersama.
Tempo tarian yang pada permulaan lambat, kemudian merambat naik, dan akhirnya cepat memerlukan kekuatan dan stamina fisik yang prima. Demikian pula konsentrasi penuh penari dibutuhkan agar tidak terjadi tabrakan gerak antara penari satu dengan yang lainnya.
Kebersamaan dan kekompakan menjadi syarat utama dalam membawakan tarian ini. Setelah bagian posisi duduk telah diselesaikan, maka babak berikutnya adalah posisi berdiri atau disebut Rateb Dheng.
Berbeda dengan ketika masih duduk, ketiga fase gerak ini dimulai ketika secara perlahan para penari berdiri sambil memainkan jari dan menghentakkan kaki kanannya dengan irama yang semakin cepat.
Berikutnya disambung dengan posisi berdiri sempurna bergerak menuju bentuk lingkaran. Proses membentuk lingkaran tersebut dengan gerakan membungkuk dan menengadahkan badan dengan ritme yang semakin cepat.
Kemudian sebagai adegan terakhir, para penari bergandengan tangan dalam posisi lingkaran dengan gerakan melompat kesamping kanan dengan irama semakin cepat.
Selanjutnya penari satu persatu tumbang di lantai, sehingga akhirnya tidak satupun penari yang masih berdiri dan melompat. Kemudian Syekh Radat mengumandangkan azan atau takbir, disusul dengan bangkitnya para penari yang membentuk formasi berjajar menghadap ke penonton dan memberi hormat sebagai Tanda usainya pergelaran tari.
Simbol dan Makna
Dalam ragam Tari Rabbani Wahed terdapat beberapa simbol dan makna, antara lain, bentuk simpuh berjajar, merupakan simbol berjamaah yang mempunyai arti persatuan dan kebersamaan. Kemudian, gerak salam, bermakna bahwa setiap muslim setiap jumpa sesama muslim wajib mengucapkan salam.
Gerakan bismillah sebagai simbol kebaikan, gerakan Hattahiyatun, mana Allah Maha Tahu, gerakan Sultan Maujuudun, simbol kehidupan di dunia yang fana dan akherat yang kekal. Selain itu gerakan Allah Rabbani adalah simbol kesadaran iman, gerakan Din Awadin, bermakna asal mula jadi.
Gerakan Hasan Husein, adalah simbol ratapan kesedihan gerakannya melambangkan gendongan. Gerakan Syailellah, simbol kehidupan yang selalu bergerak hingga pada masanya dan gerakan Allahu, gerak yang bermakna keagungan.
Dari simbol dan makna yang terkandung di dalam gerak tari Rabbani Wahed semakin meneguhkan bahwa sifat dari tari ini religius. Meskipun dalam perkembangannya sekarang ini hanya dipentaskan sebagai sarana hiburan atau tontonan semata, namun formasi, gerakan, dan syair yang didendangkan sangat sarat dengan tuntunan.
Kepala Bidang Bahasa dan Seni Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Nurlaila Hamzah mengatakan, kesenian ini selalu mendapat tempat dalam pagelaran seni di yang diselenggarak pihaknya.
Hal itu dilakukan agar tarian Rabbani Wahed bisa eksis dan semakin dikenal.
Bahkan pihaknya juga membuka ruang dan kesempatan bagi anak-anak milenial dari siswa sekolah umum, madrasah aliyah dan pesantren untuk mempelajari dan belajar seni tradisi, termasuk seni tari Rabbani Wahed.
“Tentu kita selalu mengangkat kesenian ini dalam setiap pagelaran agar tarian Rabbani Wahed semakin dikenal dan dicintai masyarakat, seperti tagline kita ‘Lestarikan Budaya, Majukan Pariwisata,” katanya.
Tinggalkan Balasan