WISATAACEH – Tangan Sri Mawarni cekatan menyusun bilah-bilah kecil pohon bemban menjadi satu rangkaian karya. Sambil selonjoran di bawah Rumoh Aceh, aktivitas usai mengerjakan urusan rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan beberes rumah, bilah kecil bemban itu dikerjakannya jadi barang berguna.
Dia menyulap bilah-bilah tersebut jadi beragam produk seperti vas bunga, keranjang, tas, tutup saji makanan, dan lain sebagainya. Pohon bemban yang awalnya tak bernilai, ditangan Mawarni jadi mahakarya yang mendatangkan pundi-pundi rupiah.
Bagi perempuan yang tinggal di Desa Lampanah Tunong, Indrapuri, Aceh Besar ini, menganyam bilah bemban atau dalam bahasa Aceh disebut bili, bukan pekerjaan untuk mengisi waktu luang semata, melainkan bagian dari merawat warisan indatu.
Bersama puluhan ibu-ibu di desa setempat, Mawarni usai menjalankan tugas mulia sebagai ibu rumah tangga (IRT), tak lantas berleha-leha tanpa manfaat. Mereka turut membantu ekonomi keluarga lewat karya anyaman bili.
Menurutnya bahan dasar untuk mengolah beragam kerajinan anyaman itu mudah didapat di sekitar kampung. Sepekan sekali, ibu-ibu di Lampanah Tunong naik ke bukit yang ada di sekitar desa mereka. Di sana tutur Mawarni banyak tumbuh pohon bili.
Bagi warga setempat, bukit di sekitar desa itu bukanlah tempat yang menyeramkan. Warga akrab kala menyusurinya. Mereka ‘dekat’ karena saling merawat.
Orang-orang di Lampanah Tunong sepakat menjaga semua habitat dan hanya mengambil apa yang terkandung di sana secukupnya saja.
Sikap ini mendatangkan manfaat besar. Bukit itu menyimpan ragam tumbuhan yang bisa mengobati berbagai penyakit. Sekilas, bukit yang teronggok di sekitar desa bagai ‘apotek’ bagi mereka.
“Begitu juga bak bili (pohon bili) ini, tumbuh liar saja di sini,” kata Mawarni.
Kemudahan memperoleh bahan baku itulah yang bikin Mawarni bersama sekitar 30 perempuan di Lampanah Tunong melahirkan kelompok anyaman yang ditabalkan nama Bili Droe. Para wanita perajin ini telah menghasilkan berbagai macam karya.
Mawarni bercerita awalnya mereka agak tertatih menggaet pembeli. Masalahnya klasik, seperti yang dialami usaha rintisan lainnya; lemah promosi. Mereka pun belum terbiasa menggelar lapak secara online.
Lantas bak pucuk dicinta ulam pun tiba, anyaman produksi Bili Droe akhirnya sampai ke telinga pemerintah. Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Aceh menyambangi Lampanah Tunong.
Perempuan perajin di sana dibekali cara memasarkan produk. “Mereka melakukan finishing penambahan bahan tertentu untuk sebuah produk jadi, serta logonya,” tutur Mawarni.
Berangkat dari bekal tersebut produk Bili Droe melanglang buana ke berbagai daerah, bahkan sampai ke mancanegara. Seturut kemudian mereka juga mulai paham memasarkan produk secara online.
Selain itu, pemerintah kerap membawa kerajinan tangan perempuan Lampanah Tunong ini ke berbagai pemeran. Tak sedikit pengunjung yang melirik.
Mereka yang terpikat menganggap karya Bili Droe unik jika dipakai sehari-hari. Desainnya minimalis dan sangat ramah lingkungan di tengah kondisi dunia yang diterpa isu global warming.
Di samping itu harga satu produk Bili Droe masih tergolong ramah di kantong. “Harganya berdasarkan kerumitan produk itu sendiri. Kalau yang kecil dan pembuatannya mudah, itu kami jual Rp30 ribu saja,” kata Mawarni.
Dia menyebut untuk satu produk Bili Droe memakan waktu pengerjaan sekitar dua sampai empat hari. “Itu pun juga tergantung jenis barang yang dibuat dan ukurannya,” ujarnya.
Rata-rata mereka membeli secara online. Urusan jual beli ini diampu anak perempuan Mawarni.
Saat ini Mawarni mengaku kewalahan melayani pesanan pembeli. Sebab mereka bekerja masih secara manual. Belum lagi para perempuan perajin di Bili Droe berkejaran dengan waktu, antara menyelesaikan orderan dan mengurus rumah tangga. []
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan