PIDIE – Tari Seudati sudah tidak asing bagi sebagian besar warga di Aceh. Tarian yang ditarikan delapan pria itu masuk dalam kategori tari perang. Dulu, tarian ini dipakai untuk membakar semangat pejuang melawan penjajah.
Tari Seudati berasal dari daerah Kabupaten Pidie dan berkembang di beberapa daerah seperti Aceh Utara. Tarian ini diyakini mulai ada di Tanah Rencong sekitar abad ke-16 Masehi dan dibawakan ulama dari Arab.
Dari beberapa literatur dijelaskan Tari Seudati berasal dari bahasa Arab yaitu ‘Syahadat’. Ada juga sumber yang menyebutkan kata Seudati berasal dari kata Seurasi yang berarti harmonis dan kompak. Tarian Seudati termasuk salah satu tradisional Aceh yang harus dilestarikan.
Dikutip dari laman warisan budaya Kemendikbud, Seudati mulai dikembangkan sejak agama Islam masuk ke Aceh. Penganjur Islam memanfaatkan tarian ini sebagai media dakwah untuk mengembangkan ajaran agama Islam. Tarian ini berkembang terutama di wilayah Aceh bagian pesisir.
Tarian Seudati disebut dibawakan dengan mengisahkan berbagai macam masalah yang terjadi agar masyarakat tahu bagaimana memecahkan persoalan secara bersama-sama.
Pada mulanya tarian Seudati diketahui sebagai tarian pesisir yang disebut ratoh atau ratoih, yang artinya menceritakan, diperagakan untuk mengawali permainan atau diperagakan untuk bersuka ria ketika musim panen tiba atau pada malam bulan purnama.
Laman itu menjelaskan dalam ratoh dapat diceritakan berbagai hal mulai dari kisah sedih, gembira, nasihat, sampai kisah-kisah yang membangkitkan semangat juang. Istilah yang dipakai dalam seudati kebanyakan berbahasa Arab karena ulama yang mengembangkan Islam berasal dari negeri tersebut.
Beberapa istilah itu seperti kata syeikh yang berarti pemimpin, Saman yang berarti delapan, dan syair yang berarti nyanyian. Tarian Seudati disebut termasuk kategori Tribal War Dance atau Tari Perang karena syairnya selalu membangkitkan semangat pemuda Aceh untuk bangkit dan melawan penjajahan.

“Oleh sebab itu tarian ini sempat dilarang pada zaman penjajahan Belanda, tetapi sekarang tarian ini diperbolehkan kembali dan menjadi Kesenian Nasional Indonesia,” tulis laman tersebut.
Tari Seudati ditarikan delapan laki-laki sebagai penari utama, terdiri dari satu syeh, satu orang pembantu syeh, dua orang pembantu di sebelah kiri (disebut apeetwie), satu orang pembantu di belakang yang disebut peet bak, dan tiga orang pembantu biasa. Selain itu, ada pula dua orang penyanyi sebagai pengiring tari yang disebut aneuk syahi.
Tarian ini tidak menggunakan alat musik, tetapi hanya membawakan beberapa gerakan, seperti tepukan tangan ke dada dan pinggul, hentakan kaki ke tanah, dan ketipan jari. Gerakan tersebut mengikuti irama dan tempo lagu yang dinyanyikan.
Penari Seudati biasanya mengenakan baju ketat berlengan panjang dan celana panjang. Baju dan celana tersebut lazimnya berwarna putih. Penari juga biasanya memakai kain songket yang dikenakan di pinggang hinga paha, rencong yang disisipkan di pinggang dan tangkulok (ikat kepala) berwarna merah sebagai aksesorisnya.
Tari Seudati kerap ditampilkan dalam berbagai event di tingkat lokal, nasional hingga internasional. Pada 2020 lalu misalnya, Tari Seudati memeriahkan festival budaya “7th Melayu Day @ Yala” yang berlangsung di Chang Peuh Park, Thailand.
Kala itu, Tarian Seudati Aceh ditampilkan dalam rangka mempromosikan khazanah seni budaya Aceh yang Islami kepada pengunjung dan wisatawan, khususnya masyarakat Kota Yala yang umumnya beragama Islam. Tujuannya untuk menggaet turis datang bertamasya ke Tanah Rencong.
Pada tahun 2014, tari Seudati ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari Provinsi Aceh. Selain itu, Pemerintah Aceh juga mengusulkan tari itu kepada UNESCO sebagai Warisan Seni Budaya Tak Benda Dunia. Semua ini dilakukan untuk menjaga kelestarian tari Seudati yang berasal dari kota Serambi Mekkah.
Tinggalkan Balasan